Senin, 03 Oktober 2011

ONTOLOGI :METAFISIKA, ASUMSI, DAN PELUANG

1 Pengertian Ontologi

Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu. Neches (1991) memberikan definisi tentang ontologi yaitu: “Sebuah ontologi merupakan definisi dari pengertian dasar dan relasi vocabulary dari sebuah area sebagaimana aturan dari kombinasi istilah dan relasi untuk mendefinisikan vocabulary”.
Gruber (1991) memberikan definisi yang sering digunakan oleh beberapa orang, definisi tersebut adalah “Ontologi merupakan sebuah spesifikasi eksplisit dari konseptualisme”. Berdasarkan definisi Gruber tersebut banyak orang yang mengemukakan definisi tentang ontologi diantaranya Guarino dan Giaretta (1995) mengumpulkan definisi yang berkoresponden dengan syntactic dan semantic interprestasi. Sedangkan Borst (1997) melakukan penambahan dari definisi Gruber dengan mengatakan “Sebuah ontologi adalah spesifikasi formal dari sebuah konseptual yang diterima (share)”.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.

2 Metafisika

Dalam bahasa Inggris berakar dari bhs Yunani ‘on’ berarti ada dan ontos berarti keberadaan, logos berarti pemikiran Lorens Bagus : 2000).
Ontologi menurut A.R. Lacey, ontologi berarti ‘” a central part of metaphisics” (bagian sentral dari metafisika) sedangkan metafisika diartikan sebagai that which comes after physics, … the study of nature in general (hal yang hadir setelah fisika, … studi umum mengenai alam)
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait.
Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini (Jujun, 2005).

a. Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
b. Naturalisme.
Paham ini menolak wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme merupakan paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari alam adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan sebagainya. Obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian, hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindra.
Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia fisika. Pendapat ini merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik, yang merupakan kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia fisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup.
Kaum vitalistik mempertanyakan apakah manusia merupakan bagian dari proses kimia fisika tersebut. Pertanyaan berlanjut pada bagaimana pandangan mengenai pikiran (kesadaran)? Bagi kaum vitalistik, hidup merupakan sesuatu yang unik yang berbeda dengan proses kimia fisika tersebut. Proses berfikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (obyek) yang ditelaahnya. Namun, apakah apakah kebenarannya dari hakikat pikiran tersebut? Apakah dia berbeda dengan benda yang ditelaahnya, ataukah bentuk lain dari zat tersebut?
Kelompok naturalis yang lain, yaitu aliran monoistik dengan tokohnya Christian Wolf (1679-1754), menyatakan bahwa tidak berbeda antara pikiran dengan zat. Keduanya hanya berbeda dalam gejala yang disebabkan proses berlainan, namun memiliki substansi yang sama. Sebagaimana energi dan zat, teori Einstein: menyatakan energi hanya bentuk lain dari zat. Jadi proses berfikir dianggap sebagai aktivitas elektro kimia dari otak.
Kelompok lainnya, yaitu aliran dualistik memberikan pendapat yang berbeda tentang makna kesadaran. Zat dan kesadaran (fikiran) adalah berbeda secara substantif, sui generalis. Tokoh penganut paham ini antara lain Rene Descartes, John Locke dan George Berkeley. Mereka menyatakan bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran manusia, termasuk penginderaan dari hasil pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Yang bersikap nyata hanyalah pikiran, karena dengan berpikir maka sesuatu itu akan menjadi ada. Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada.
John Locke mengibaratkan pikiran manusia pada awalnya merupakan sebuah lempeng yang licin dan rata dimana pengalaman inderawi akan melekat dalam lempeng tersebut. Organ manusia lah yang menangkap dan menyimpan pengalaman inderawi.
Berkeley terkenal dengan ungkapannya to be is to be perceived.Ada adalah disebabkan oleh persepsi. Sesuatu akan muncul karena manusia berpikir dan memunculkan suatu anggapan. Proses kreasi muncul karena persepsi ini dan menghasilkan sesuatu yang berujud.
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah dilakukan, akan semakin banyak pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal tersebut di atas. Karena beragam tinjauan filsafat diberikan oleh setiap ilmuwan, maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa memiliki filsafat individual yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua itu adalah sifat pragmatis dari ilmu.

3 Asumsi

Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan diatas bumi…tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.
Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain;
Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat dalam suatu entimen .
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005):
1. Deterministik.
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang bersifat universal. Tokoh: William hamilton dan Thomas Hobbes, yang mneyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat uiversal. Pada lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik lebih banyak dikenal dan asumsinya banyak digunakan dibanding ilmu sosial. Sebagai misal, satu hari sama dengan 12 jam. Satu jam adalah sama dengan 60 menit. Sejak jaman dahulu sampai saat ini, dan mungkin juga masa nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapa pun jumlah percobaan dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan menghasilkan carbon dioksida.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu;
Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif
Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang.
Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.
Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini?
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis
Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif. Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda:
Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsep–kosep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada.
Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung pada persepsi individu.
Sebagai misal secara khusus dalam metodologi ilmu sosial, terdapat dua asumsi berbeda dalam membicarakan tentang sifat masyarakat sosial. Asumsi ini sangat penting dalam menentukan pendekatan terhadap masalah–masalah yang berhubungan dengan konflik, perubahan dan pemaksaan dalam masyarakat. Asumsi yang berbeda ini tercermin dalam dua teori:
Order
Asumsi ini lebih diterima secara umum oleh para ahli ilmu sosial. Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat:
  • Relatif stabil.
  • Terintegrasi dengan baik.
  • Elemen dari masyarakat itu memiliki fungsi masing–masing dan saling berkoordinasi.
  • Struktur sosial tercipta berdasarkan konsensus, bukan pemaksaan (coercion )
  • Konflik
  • Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat :
  • Mengalami perubahan di banyak aspek
  • Mengalami konflik di banyak aspek.
Setiap elemen dari masyarakat memiliki kontribusi ke arah disintegrasi
Perbedaan order versus konflik ini cenderung ditinggalkan dan digantikan oleh regulation (regulasi) versus radical change (perubahan radikal). Pandangan yang bersifat regulasi lebih terkait pada bagaimana masyarakat cenderung menjadi sebuah kesatuan dan adanya kebutuhan akan regulasi. Pandangan perubahan radikal berfokus kepada bagaimana terciptanya perubahan radikal, konflk, dominasi dan kontradiksi.
Penelaahan suatu ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji permasalahan dalam masyarakat, terlebih entitas lokal, perlu menggunakan pilihan asumsi yang tepat. Bidang kajian ilmu ekonomi pembangunan perlu melihat kondisi aspek kemasyarakatan secara detil. Kesalahan penggunaan asumsi akan memberikan dampak negatif bagi obyek penelitian, yaitu masyarakat dari obyek pengetahuan tersebut. Dengan demikian, kebijakan sebagai langkah akhir dari penelitian mengenai proses pembangunan masyarakat tersebut menjadi bias dan tidak tepat.

4 Peluang

Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.

Kesimpulan

Dari Pembahasan yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan :
a) ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
b) Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait.
Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini.
c) Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.
Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.
d) Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tuangkan komentar anda di sini!